Selasa, 05 April 2016

Menerbitkan buku secara indie. Bingo!



Bisa menamatkan tulisan yang akhirnya menjelma menjadi sebuah cerita dalam bentuk novel itu menyenangkan. Tapi kesenangan itu mentok ketika pada akhirnya tulisan itu cuma teronggok dalam tumpukan file pribadi aja. Begitulah nasib dari 'Bingo!' novel pertama yang gue tulis sejak memutuskan resign dari pekerjaan. Saat itu menulis gue jadikan hobi untuk mengisi waktu luang aja. Biar gak jenuh sama urusan rumah tangga dan urusan anak-anak yang gak ada habisnya. Ditambah udah gak ada lagi temen ngobrol diskusi yang seru seperti saat gw masih aktif ngantor dulu. Nah, ketika menulis itulah gue ngerasa bisa asyik lagi seperti sedang ngobrol dan menceritakan apa yang ada di kepala gue, bedanya kali ini yang 'dengerin' si laptop :)

Tulisan itu pun akhirnya gue kirimin ke penerbit mayor dan ditolak. Hehehe. Gue beberapa kali mengalami penolakan. Kecewa itu pasti, manusiawilah. Gue juga gak kaget kok sama penolakan mereka. Maklum, menembus penerbit mayor itu kan gak segampang menjetikkan jari. Apalagi untuk penulis pemula yang belum punya nama dan karya sebelumnya seperti gue, hehehe.

Akun media sosial yang kita miliki pun berpengaruh loh terhadap keputusan penerbit untuk menerima naskah kita. Semakin aktif dan semakin banyak folower yang kita miliki di media sosial menambah penilaian mereka dan selama tulisan kita cocok aja sama selera pasar, peluang diterimanya besar. Masalah konten cerita mah bisa dibantu poles kok sama tim penerbit. Sementara akun medsos yang gue punya followernya masih sedang-sedang saja dan gue pun kurang lihai mengaktifkannya. Hahaha.

Gue menyadari kelemahan gue yang mungkin kurang peka sama masalah selera pasar itu. Gue lebih fokus sama apa yang gue tulis. Gue nulis apa yang gue sukai dan pahami. Mungkin karena baru dalam tahap hobi, jadi gue nulis ya baru dalam tahap senang-senang... maksudnya senang-senang di sini belum sampai tahap mikirin secara serius tulisan gue bakal cocok apa nggak sama selera oranglain kebanyakan. Yang penting gue tetap jaga kualitasnya, gak cuma asal nulis gitu aja. Novel kan bisa juga sebagai alat untuk menyampaikan opini kita terhadap sesuatu. Juga bisa menjadi alat penyampaian sebuah pesan bagi pembacanya. Nah, dalam novel ini gue membawa tema tentang dunia perencanaan keuangan yang belum banyak diangkat dalam novel lain pada umumnya. Betapa uang sangat erat kaitannya dengan kehidupan dan kenyamanan dalam sebuah hubungan percintaan. Bagaimana kita melihat uang sebagai alat untuk mencapai kenyamanan, bukan justru menjadikannya tujuan yang malah pada akhirnya akan menghilangkan kenyamanan hidup kita, bahkan parahnya justru menghancurkan impian sejati kita. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya akan sulit kalau tak ada uang. Semua itu kembali pada bagaimana kita mengatur prioritas kehidupan dan keuangan kita. *wink

Gue sempat gak pede dan down ketika ngalamin beberapa kali penolakan dari penerbit mayor. Meskipun gue tau kalo yang gue alami ini gak ada apa-apanya dibanding yg udah dialami penulis besar lainnya yang ditolak puluhan kali sebelum akhirnya karya mereka meledak jadi mega bestseller di berbagai penjuru dunia. Tapi perasaan sedih itu pasti muncul, semua penulis pasti merasakannya ketika terjadi penolakan untuk ke sekian kali. Iya kan? Ah. Sudahlah! Namanya juga usaha :)

Yep. Menerbitkan buku melalui penerbit mayor itu butuh kesabaran super dan waktu yang panjang, umumnya bukan cuma bulanan, melainkan tahunan. Jujur aja, melelahkan. Dudududu. Sampai akhirnya gue mempertimbangkan pilihan lain untuk menerbitkan buku secara indie. Gue pun gak sengaja membaca di sini mengenai proses penerbitan buku secara indie yang gratis, mudah, dan cepat. Tambah semangat lagi setelah membaca ini. Tentunya banyak alternatif penerbit lain yang menawarkan jasa menerbitkan buku secara indie. Googling aja dengan keyword menerbitkan buku secara indie, pasti langsung berentetetan info yang muncul. *Iyalah sudah tahu kaleeee

Alternatif menerbitkan buku secara indie ini pastilah ada plus minusnya. Setidaknya, bisa jadi batu loncatan buat penulis pemula. Namun pilihan menerbitkan buku secara indie, tetap kudu diiringi dengan usaha serius menjaga kualitas tulisan, loh. Bukan cuma untuk sekedar terbit aja. Selanjutnya pun tetap semangat dan mencoba terus bersaing menembus penerbit mayor :)

Nah, terakhir saatnya gue buat promosi. hehehehe. #halah

Novel 'Bingo!' bisa kalian dapatkan dengan membeli via online melalui :

Pemesanan via WhatsApp 081290461162 atau SMS 081287602508 Guepedia dengan format pemesanan  Nama#Alamat#BINGO!#Jumlah Buku

Tokopedia https://www.tokopedia.com/guepedia/bingo?n=1

Bukalapak https://www.bukalapak.com/p/buku/novel/18zxfl-jual-buku-bingo

Elevenia http://www.elevenia.co.id/prd-bingo-11784825

Jualo.com
 https://www.jualo.com/jakarta/jakarta/buku-novel-dan-komik/bingo-novel?s=tezmv5_imleo4t5

olx.co.id
http://olx.co.id/iklan/bingo-novel-remaja-IDhD6PG.html

Dinomarket.com http://www.dinomarket.com/PASARDINO/93625908/Jual-Bingo-/

Popazop.com http://www.popazop.com/merchant/products/preview/bingo

Hargabukuonline.com  http://hargabukuonline.com/details.php?id=716

Guepedia.com http://store.guepedia.com/product/bingo/

Kaskus.co.id
http://fjb.kaskus.co.id/product/5701d5cf642eb623708b4570/bingo/?state=created

Fjb.net http://forumjualbeli.net/usernote.php?do=viewuser&u=23877

Indonesiindonesia.com
http://indonesiaindonesia.com/newthread.php?do=postthread&f=52

Google PlayStore : Dalam proses verifikasi  

Rabu, 23 Maret 2016

Belajar dari 'Bebek Nungging'



Saya sebenarnya tidak ambil pusing dengan kasus Zaskia Gotik yang tengah dilaporkan menghina Pancasila, akibat jawaban ‘bebek nungging’ yang ditulisnya atas pertanyaan ‘Apa lambang sila kelima Pancasila?’ Sepertinya dia memang tidak sengaja melakukannya, spontanitas. Tak disangka yang terjadi selanjutnya pun di luar prediksinya. Begitulah manusia. Tempatnya salah dan khilaf. Untuk itu kenapa kita sebagai sesama harus saling mengingatkan, menegur kekhilafan satu sama lain agar tidak terus-terusan jadi orang yang salah.

Tidak bermaksud membahas Zaskia Gotik secara pribadi, hanya saja ada yang menggelitik dari pernyataannya kalau dia cuma lulusan SD dan ‘gak tau’ tentang Pancasila. Hmm. Bukankah kita mendapat materi tentang Pancasila sejak SD? Bahkan jaman dulu (termasuk angkatan Zaskia Gotik), Pancasila itu gencar sekali diajarkan. Sila-sila Pancasila pun selalu lantang diteriakkan minimal seminggu sekali setiap hari Senin bertepatan dengan upacara bendera. Soal PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang selanjutnya berubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) selalu rajin menanyakan tentang Pancasila sampai kepada pasal serta butir-butir UUD 45-nya. Bahkan ketika kelas 5, saya masih ingat pernah diwajibkan menggambar Pancasila dalam kertas kartun besar. Tentu saja harus dengan gambar yang tepat, jangankan lambang masing-masing sila, berapa jumlah bulu dalam sayap dan lehernya segala harus dihitung, kok. Ke arah mana kepala burung menengok pun tidak boleh salah. Saya rasa pelajaran itu tidak cuma berlaku di SD Negeri tempat saya belajar saja kan? Hehehe.Di SD si Neng pastilah diajarkan juga... 

Sekolah Dasar itu kan mempelajari tentang ilmu dan pengetahuan yang dasar dan pada dasarnya pun kita harus tahu, meskipun kadang lupa… bukannya benar-benar ‘gak tau’! 

Nah. Jawaban ‘gak tau’ si Neng ini membuat saya tertawa geli. Gak tahu? Saya lebih suka kalau dia bilang lupa! Artinya dia pernah tahu, hanya saja sedang atau sudah tidak ingat. Setidaknya, itu tidak benar-benar membuatnya tampak benar-benar ‘kosong’. Beneran deh. Saya masih berharap kalau dia lupa saja, bukannya ‘gak tau’. Kalau sampai dia beneran 'gak tahu', artinya ada yang salah sama proses belajarnya dulu. 
Kita bisa memetik hikmahnya dari kasus si Neng. Bagaimanapun belajar adalah tentang sebuah proses. Belajar bukan sekedar menghafal atau mempelajari sesuatu saja demi mendapat nilai, lalu setelah itu lupa. Belajar juga tentang sikap. Belajar perlu ketulusan, keseriusan, serta usaha sungguh-sungguh yang disertai dengan niat. 

Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk memojokkan si Neng. Semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Semoga kasus 'bebek nungging' ini bisa memberi kita hikmah agar lebih serius lagi saat belajar, entah saat di sekolah atau di mana pun. Karena, tak ada ilmu yang tak bermanfaat. Pengetahuan sekecil apapun bisa saja menyelamatkan kita dari sebuah petaka. Begitulah pentingnya keseriusan dalam belajar. Ingat Iqra yang menjadi ayat pertama yang diturunkan Allah, SWT? 'Bacalah!' Membaca itu bisa berarti banyak hal yang pada akhirnya menuntut kita untuk belajar dan berpikir. Membaca tentang ilmu, membaca situasi dan kondisi, mempelajari segala asumsi, dan memetik hikmah (pembelajaran). Ilmu yang berguna tentunya akan berdampak pada kebaikan, untuk diri kita pribadi dan orang lain.

Minggu, 02 Agustus 2015

Taare Zameen Par


Mungkin sebagian besar dari anda belum banyak yang tahu apa sih judul yang saya tulis ini? Itu adalah judul film India garapan Amiir Khan yang menjadi salah satu film favourite saya setelah Three Idiots, tahu kan? Itu loh… film inspirasional yang berkisah tentang passion yang pemeran utamanya pun Amiir Khan. Kalau tidak salah diproduksi tahun 2009. Quotes yang membuat saya senyum sambil manggut-manggut diawal-awal film berputar kala menontonnya dulu kurang lebih isinya begini, “Ever since we were young, we believed that life was a race. If we didn’t run fast enough, we would be trampled and overtaken. Man, even to be born, we had to race 300 million sperm” dan satu lagi yang menohok, “Never study to be successful. Don’t run behind success. Follow behind excellence, success will come all way behind you.”


Three Idiots


Yep. Amiir Khan memang ciamik dalam menyuguhkan film-film yang tematik dan inspirasional. Menurut saya, Amiir Khan adalah sosok visioner dan berpikiran terbuka. Filmnya bukan sekedar film yang sarat hiburan melainkan benar-benar film yang membuka wawasan dan mencerdaskan. Dia punya misi dan visi yang kuat dalam berkarya.

Apa menariknya dari film Taare Zameen Par ini? Jelas. Belum nonton saja saya sudah tertarik. Bagaimana tidak? Yang merekomendasikan film ini pada saya adalah ibu Nila, psikolog anak yang merupakan salah satu timnya Ayah Eddy. Menurutnya, film ini sangat pas mewakili kisah anak-anak yang otak kanannya lebih dominan, seperti Bob anak saya.

Nah, benar saja. Film itu benar-benar sukses memberi tamparan keras pada kedua pipi mulus saya yang bebas jerawat ini. Bukan hanya itu, hati saya terasa tergugah dan dipenuhi rasa bersalah mengingat bagaimana selama ini saya sudah salah menyikapi semua ‘keanehan’ Bob dalam proses belajarnya, terutama yang bersangkutan dengan membaca juga menulis. Pokoknya tokoh utamanya benar-benar mewakili Bob, persis sekali… bedanya Bob lebih gantenglah… wehehehehe !

Kemunculan Amiir Khan sebagai guru dalam film itu membuat saya tambah gemes greget-greget gimanaaa gitu. Bukan hanya karena tampang dan bodinya yang kinyis-kinyis… Tidak. Bukan. Serius. Melainkan karena caranya mengajar yang sangat menyentuh. Begitu pengertian, memahami, mendekati, dan memberi solusi. Amiir Khan seolah hanya mengajak anak-anak bermain tanpa anak-anak itu sendiri menyadari kalau mereka sesungguhnya sedang belajar. Bukan seperti guru pada umumnya yang hanya menggiring anak pada tuntutan kurikulum saja dengan metode pengajaran yang monoton dan membosankan.

Hari gini, dimana sih kita temukan guru (terutama pada sekolah negeri pada umumnya yang notabene ‘gratisan’) yang benar-benar bisa bikin anak fun? Yang ada membuat kebanyakan anak malah stres, capek, dan pengen cepat pulang dan menjauh dari sekolah secepatnya. Saya berkhayal, seandainya Indonesia memiliki banyak guru semacam Amiir Khan dalam film ini. Sumpah demi Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana, saya yakin Indonesia akan jadi bangsa yang besar… sebesar jagat raya ini ! Oh, Indonesia-ku yang dipenuhi bibit unggul ini butuh sekali banyak guru !! Guru yang benar-benar bisa di ‘gugu’ lan ‘di ‘tiru’. Ingat kan, bagaimana Jepang dulu bangkit pasca bom Nagasaki dan Hiroshima? Yep. Mereka merasa butuh banyak guru untuk mengajar sebagai investasi guna membangun negeri. Nah, selain kerja keras, Kualitas Guru dan Pendidikan loh modalnya Jepang untuk bangkit dari keterpurukan. Terbukti kan negeri itu benar-benar BANGUN dan menjadi Macan Asia sampai sampai sekarang, bahkan dunia.

Masalah kita pun bukan hanya sekedar pada cara mengajar guru-guru pada umumnya, tapi juga tuntutan KURIKULUM itu sendiri yang mungkin sudah ribet untuk ukuran anak-anak SD terutama bagi mereka yang masih berumur kurang dari sepuluh tahun. Calistung (membaca – menulis- berhitung) bahkan sudah ditekankan sejak anak baru masuk TK. Sepertinya ‘sengsara’ sekali mereka yang masih belum mampu calistung begitu mulai masuk SD, terseok-seok mengikuti pelajaran yang makin lebay saja tingkat kesulitannya. Saya saja pening membaca-baca soal LKS Bob yang masih kelas satu dulu. Kalimat soal terlalu kompleks untuk ukuran anak kelas satu dan dua SD. Nah, membaca saja ia masih terseok-seok. Duuh Gustiii. Sekarang kelas dua pun tidak jauh beda. Dan keluhan saya ini pun ditanggapi sama oleh kebanyakan orangtua murid yang lain. Oh, negeriku…

Baiklah, mungkin anda penasaran memangnya seperti apa sih film ini? Saya ceritakan sedikit ya…

Every child is special
Film ini mengisahkan tentang seorang anak yang bernama Ihsaan yang otak kanannya lebih dominan. Ihsaan memiliki kecerdasan visual, spasial, dan kinestetik yang menonjol. Sementara ia bersekolah di SD yang kurikulumnya lebih cocok untuk anak auditori, persis seperti yang berjalan di SD Negeri di Indonesia juga. Nah, apa yang terjadi? Tentu saja Ihsaan ini kewalahan mengikuti pelajaran. Nilainya jadi ‘ancur-ancuran’. Ia terlihat sering melamun dan gagal fokus. Padahal sebenarnya ia sedang berimajinasi. Maklum, namanya saja anak visual. Sedihnya lagi, bukannya mencoba memahami dan mencari tahu masalah muridnya, gurunya justru kerap memarahi dan sering mengeluarkan anak ini dari kelasnya karena dianggap ‘mengganggu’ dan tidak pernah memperhatikan pelajarannya.
Masalah semakin pelik ketika si anak ini memiliki seorang kakak yang otak kirinya lebih dominan. Prestasi akademiknya sangat cemerlang. Berbanding terbalik dengan adiknya ini yang menulis dan membaca saja masih tidak becus. Kerjaannya menggambar dan menggambar terus tapi menulis huruf dan angka saja masih sering terbalik-balik padahal sudah kelas tiga SD. Orangtua mereka pun selalu membandingkan keduanya. Nah, menjengkelkan bukan? Tapi si anak ini cuek saja. Lagi-lagi mengingatkan saya pada sikap cueknya Bob yang pernah membawa hasil ulangannya pulang dan dengan bangganya bilang pada saya, “Mama, lihat nih… Bob dapat nilai Nol. Bentuknya seperti telur ayam ya, Ma? Kalau diberi mata, hidung, dan mulut jadi seperti wajah donk…” ujarnya tanpa dosa sambil menyodorkan kertas itu pada saya. Huh. Entahlah, Bob ini punya bakat melawak atau bagaimana… Yang jelas bukannya tertawa tapi saya malah histeris begitu menerima ‘kertas neraka’ itu …. Huaaaa !!! Duhh… Gustiiii Pangeraaan… Kulo nyuwon pangapuro…
Eh, kembali lagi ke film ini… Saking geramnya dengan perkembangan pendidikan anaknya yang tidak sedikitpun mengalami ‘kemajuan’ maka ayah si anak pun memindahkan anaknya ke sekolah lain yang menurutnya lebih ‘keras’ agar anaknya ini bisa fokus sekolah dan belajar. Sialnya sekolah ini mewajibkan muridnya masuk asrama. Nah, drama dimulai… Tissue saya berserakan dimana-mana… Huaaa sediiih ! Tidak tega melihat betapa hancurnya perasaan si anak yang merasa dicampakkan oleh orangtuanya sendiri hanya gara-gara ia tidak bisa ‘sama’ dan tidak ‘pintar’ seperti kakaknya. Orangtuanya tidak pernah tahu betapa anaknya memiliki kecerdasan lain yang tidak sama dengan anak sulungnya… Kecerdasan yang tak kalah membanggakan seperti kakaknya kalau saja orangtuanya bisa memahami dan menggalinya.
 

Ishaan
 
Yeah, ada sembilan jenis kecerdasan (multiple intelligency). Tidak semua anak punya jenis kecerdasan yang sama. Tentunya butuh cara belajar yang berbeda-beda dalam upaya mengasah masing-masing kecerdasan itu. Ibarat olahraga. Punya banyak cabang. Atlet renang mungkin akan tampak bodoh kalau ditempatkan di arena sepakbola. Dan atlet bola volley mungkin akan keok kalau ditempatkan di arena sepak takraw. Yeh, atlet-atlet itu hanya butuh arena yang tepat sesuai bidang dan bakatnya bukan? Dan seperti itulah gambaran pendidikan kita… Kurikulum yang ada mungkin cocok bagi mereka yang otak kirinya dominan. Sementara anak-anak yang otak kanannya lebih dominan dan semakin ekstrim, mungkin akan tampak aneh, konyol, dan terbengkalai. Sedihnya mereka pun dicap ‘bodoh’ dan tidak akan pernah dapat ranking di sekolah.
Huft, pokoknya film ini bukan hanya menyentil pendidikan dasar di India saja tapi saya rasa di Indonesia juga, persis. Selain menyentil dunia pendidikannya, film ini pun turut menjewer para orangtua yang kolot dalam mendidik anak-anaknya.  Dan sialnya saya termasuk salah satu orangtua yang ‘kolot’ itu… haha bahkan setelah menonton film itu pun kekolotan saya pun belum juga bisa hilang sepenuhnya. *jedotin tembok* Tapi setidaknya, saya mulai sadar dan pelan-pelan mulai mengubah gaya belajar yang selama ini salah tapi terus saya paksakan pada Bob.
Sebenarnya ada sekolah swasta yang kurikulumnya pro dengan anak-anak dominan otak kanan dan menyesuaikan dengan multiple intellegency, seperti sekolah Ayah Eddy. Sayangnya letaknya terlalu jauh dari tempat tinggal saya. Sekolah swasta lainnya juga ada, sayangnya biayanya tak terjangkau kocek saya hehehe. Yeah, akhirnya tetap saya yang harus pandai-pandai beradaptasi dengan sekolah negeri tempat anak saya belajar. Kuncinya adalah menjaga komunikasi yang baik dengan gurunya. Sejauh ini tidak mengecewakan. Bahkan surprise sekali karena ternyata gurunya Bob pun sering membaca buku-buku Ayah Eddy. Setelah sering berkomunikasi, wali kelasnya bias memahami Bob dan lebih telaten menghadapinya di sekolah. Semoga saja akan lebih banyak lagi para pendidik juga orangtua yang gemar membaca buku Ayah Eddy atau buku apapun yang sejenis yang membuat kita menyadari bahwa setiap anak itu spesial.
Eh, masih penasaran dengan kelanjutan film ini? Tonton donk ^_^


Jumat, 06 Februari 2015

Galau Pasti Berlalu



Sering sih mendengar kalau rindu itu perih, tapi aku gak pernah nyangka kalau bisa sampai seperih ini. Rindu itu obatnya ketemu, atau pasrahkan saja pada sang waktu. Hahaha menyedihkan.
Jadi inget penggalan lagu bang Haji Rhoma Irama , “Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga…”. Tepat. Persis seperti yang kurasakan.
Bapak meninggalkan aku selama-lamanya pada tanggal 6 November 2013 tanpa permisi akibat serangan stroke yang tiba-tiba dan dalam waktu 1x24 jam segera mengantarkannya ke dunia lain. Penyesalan menghujam jantungku karena tak sempat menjenguknya, terlebih telat menghadiri upacara pemakaman terakhirnya akibat jarak tempuh perjalanan yang cukup jauh. Keluarga sepakat untuk melanjutkan prosesi tanpa menunggu semua anaknya berkumpul lebih dulu, makin cepat dimakamkan makin baik, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamaku, Islam.
Ibu merangkulku yang segera histeris di depan gundukan tanah yang mengubur jasad bapak di dalam sana. Jemariku mencakari tanah, mencari-cari sesuatu yang hilang dan yang tak  mungkin kutemukan kembali. Entahlah,  medadak diriku merasa rapuh dan menjelma menjadi manusia paling lemah tanpanya.
Hubungan kami memang erat, melebihi hubunganku dengan ibu. Dalam beberapa situasi, ada kalanya aku merasa jadi wasit di tengah-tengah mereka. Katakanlah, hubungan mereka memang renggang belakangan itu.
Sejak suami memboyongku ke kota lain, aku dan bapak tak pernah absen untuk saling telpon sekedar menanyakan kabar. Rasanya kami bisa saling memahami satu sama lain hanya dengan mengeluarkan kosa kata yang seperlunya. Biasanya, selain pada Allah, bapak tempatku mengadu atas apapun masalahku. Dan seperti biasa, selalu ada solusi yang terdengar paling masuk akal darinya yang paling mungkin bisa kuterapkan. Tak mungkin kudapatkan solusi macam itu dari ibu. Mereka bertolak belakang. Akhirnya aku bisa memahami mengapa mereka lebih akur kalau hidup terpisah.
Ibu berusaha meredakan pedihku dengan sentuhannya. Berkali-kali ibu mengusap bahu dan mencengkeram pundakku dengan jarinya yang mungil namun kuat, sekuat tekadnya untuk melanjutkan hidup dengan atau tanpa bapak.
“Masih ada ibu…” Bisiknya pura-pura tegar. “Kalau kau rapuh, bagaimana dengan yang lain?” Ibu menunjuk ketiga adikku yang turut  banjir air mata dengan lirikan matanya yang lelah.
Baiklah, ‘Masih ada ibu.’
Dan ibu memang benar-benar perkasa menjalani fungsinya sebagai orangtua tunggal, terutama bagi ketiga adikku. Bahkan menurutku perannya dalam menjaga adik-adikku terlalu berlebihan. “Bu, itu namanya bukan sayang. Tapi memanjakan.” Protesku suatu ketika. Aku tidak suka ibu selalu menuruti apapun yang diminta anaknya, meskipun itu diluar kemampuannya. Ibu berjuang keras demi memenuhi kebutuhan mereka hingga mengabaikan kesehatannya sendiri.
Awalnya ibu sering mengeluh nyeri setiap kali buang air kecil, “Seperti disilet,” ujarnya sambil meringis. “Kata dokter batu ginjal…” katanya tanpa menimbulkan kecurigaan dariku lebih lanjut. Namun ibu tak kunjung sembuh biarpun sudah berapa puluh kali menelan berbagai obat yang berhubungan dengan batu ginjal, entah berdasarkan resep dokter maupun yang tidak. Semakin lama ia semakin sering mengeluhkan sakit yang sama. Sampai suatu ketika ibu menelponku, “Ibu kena kanker…” namun tak terdengar nada khawatir dalam suaranya yang membuat jantungku ciut. Suaranya terdengar tetap keras, setegar batu karang.
Aku marah-marah padanya ketika uang yang seharusnya digunakan untuk operasi justru digunakan untuk membayar kuliah adik-adikku dulu. Apa-apaan sih? Kesehatan itu nomor satu ! Tapi ibu tak bergeming. “Sudahlah, ibu gak apa-apa. Nanti kalau semuanya sudah beres – maksudnya urusan kuliah adik-adik-  ibu akan lanjutkan pengobatan.” Ujarnya santai, benar-benar santai… Seolah yang dihadapinya itu cuma pilek.
Dan semuanya berlalu begitu cepat…
Selang dua minggu setelah ulang tahun ibu yang ke-55 tahun, tepatnya pada tanggal 19 Desember 2014 lagi-lagi aku ditampar kenyataan pahit, sepahit empedu... Kanker kandung kemih sialan itu merenggut satu-satunya orangtua kandung kami yang tersisa, ibuku meninggal.
“Tolong jaga adik-adik… ” masih terngiang jelas kata-kata itu ketika kami duduk berdua di sebuah ruang perawatan rumah sakit sebelum dia menjalani operasinya yang terakhir.
“Mereka laki-laki, calon kepala keluarga. Mereka harus punya kail untuk mencari ikannya sendiri kelak.” Ibu meraih satu tanganku, meminta dukungan. “Kuliah…” Ia menggenggam tanganku. “Mereka harus selesai kuliahnya. Kamu yang perempuan saja kuliah, masa mereka nggak?” Ibu menatapku penuh tekad, matanya mencari-cari jawab yang tergantung di udara. Kemudian ia tersenyum, “Ibu akan sembuh…” ujarnya datar seraya melemparkan pandangan ke arah lain, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri dan tak ada diriku disana. Ia tak mampu menatap mataku…
“Ibu belum mau mati. Ibu masih ingin mengurusi adik-adik !” Tegasnya lagi yang seketika membuat hatiku bergetar hebat.
Ibu bukannya tidak tahu kalau ia tengah menghadapi kanker stadium lanjut. Sebenarnya sudah terlambat untuk operasi. Pendarahan hebat sempat melanda saat operasi besar pertamanya yang  berlangsung sejak jam 8 pagi hingga jam 6 sore sekitar bulan April 2014 lalu di sebuah rumah sakit besar di Bandung. Namun mukjizat Allah datang melalui keahlian dokter specialis onkologi terbaik se- Asia Tenggara - info ini kuperoleh dari dokter spesialis yang sebelumnya menangani ibu juga - yang memimpin jalannya operasi. Ibu berhasil melewati masa kritis itu dan keluar dari jebakan maut pertamanya.
“Ibu luar biasa…” Puji dokter dengan tatapan tulus memandangi ibuku yang terkulai lemah. Menurut penuturannya pada kakakku, biasanya pasien dengan kondisi seperti ibu – kanker memasuki stadium akhir - hanya mampu bertahan sampai operasi yang ketiga. Tapi ibu bisa enam kali menjalaninya penuh semangat. “Sembuh atau tidaknya kan tergantung dari motivasi pasien sendiri.” Si dokter menolak kalau keberhasilan semua operasi yang dapat memperpanjang kesempatan hidup ibu itu karena keahliannya.”Ibunya yang hebat, kok…” sekali lagi ia merendah.
 Yah, ibu bertahan karena ia selalu menggenggam harapannya yang agung, menyelesaikan kuliah anak-anak demi bekal masa depan mereka selanjutnya.
“Ibu masih ingin mengurusi adik-adik…” erangnya terakhir kali sambil meronta-ronta menolak operasi yang harus dilakukan lagi untuk ke-7 kalinya akibat  tumor ganas (kanker) kembali menyumbati saluran kencingnya hingga tubuhnya membengkak disana sini. Lalu ibu terisak ketika kuraih tubuh lemahnya dalam pelukanku, seraya bibirku mengalirkan beribu doa untuknya dengan nada bergetar.
Itulah air mata yang untuk pertama kalinya kulihat selama ia menjalani semua proses pengobatannya. Itulah kali pertama jemariku mengusapi pipinya - yang nyaris tinggal tulang - yang sembab air mata. Itulah pertama kalinya ikatan emosi kami tersimpul kian erat. Betapa indah kurasakan pelukan itu. Aku tak pernah bisa melupakannya. Aku masih merasakannya dan terus membuatku merindu. Bahkan tak pernah kusangka, merindunya bisa terasa seperih ini…
Aku baru tiga kali melihatnya menangis seumur hidupku. Pertama, pertengkaran hebat dengan ibunya bapakku, kedua pada saat pertengkaran hebat dengan bapak. Dan yang terakhir, sekarang, dengan penyakitnya sendiri…
Tapi kemudian aku sadar, dia bukan sedang menangisi penyakitnya… Ibu marah sekaligus kesal, ia tak pernah menyerah tapi mengapa ia harus kalah? Kanker itu menghancurkan asanya berkeping-keping. Ia harus menelan kenyataan pahit, waktunya hampir habis. Ia gagal memenuhi janjinya, menuntaskan pendidikan ketiga anaknya, adik-adikku.
Bibirku masih bisa merasakan kecupan terakhirku di keningnya yang sedingin es. Kubendung air mataku agar tidak tumpah saat momen yang akan kukenang seumur hidup itu tengah berlangsung. Aku tak ingin menyakitinya dengan tetesan air mataku di kulitnya yang pucat. Kukecup perlahan kelopak matanya yang tertutup dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya…
Mataku nanar memandangi dua nisan yang bertuliskan nama bapak dan ibu.
Inilah akhirnya, mereka bersanding damai dan tak akan pernah tercerai berai lagi selamanya di peristirahatan mereka yang terakhir.
Dua orang yang kucintai, yang tak sempat kubahagiakan pada masa hidupnya. ..
Dua orang yang meninggalkan seribu satu cerita yang tak kunjung usai…
Entahlah, aku tak peduli pada cerita hidup mereka. Yang kupedulikan hanyalah mereka orangtuaku. Tugasku hanyalah mencintainya dalam setiap doaku. Mungkin tak akan ada orangtua yang ideal, tapi MAAF dan DOA pasti dapat menyempurnakannya. 

..........
 
Ya Allah, berikanlah tempat yang terbaik bagi mereka dan ampunilah dosa-dosanya. 
Ya Allah, berikanlah ketegaran pada kami untuk terus melanjutkan hidup di jalan yang benar. 
Ya Allah, berikanlah kesabaran dan keikhlasan pada kami dalam menghadapi semua perubahan yang terjadi sejak ketiadaan mereka.
Ya Allah, bukalah seluas-luasnya pintu rejeki-Mu bagi para yatim piatu yang ditinggalkan. 

.......... 

Don’t worry Mom… Everythings gonna be ok. 

Minggu, 01 Juni 2014

Budak duit? Diiih, amit-amit...


Duit lagi duit lagi. Apa-apa perlu duit. Ya iyalah hari gini gitu loh. Tapi sepakat ya bahwa semua perlu duit tapi bukan berarti semuanya demi duit. Itu dua hal yang sama sekali beda. Duit itu alat untuk mencapai tujuan, bukan sebuah tujuan. Kalau kita menjadikan duit sebagai tujuan, wah wah itu namanya kita udah diperbudak duit.

Berikut adalah tips supaya kita menjadi tuan atas duit kita sendiri :

1.      Tau tujuan keuangan

Tujuan lo apa? Itu kalimat sakti yang sering dilontarin perencana keuangan indepen kita yang cukup popular, siapa lagi kalau bukan Ligwina Hananto. What, belum pernah denger? Wah wah… ternyata lo gak gaul hihihi.

Yup, tujuan lo apa? Semua manusia kudu tau tujuan hidupnya masing-masing kan. Kalo lo udah tau tujuan hidup lo, akan sangat mudah buat lo mencari jalan terdekat untuk mencapai tujuan itu, dengan demikian lo akan semakin cepat meraih tujuan lo. Sederhananya misal lo pengen jalan-jalan. Kalo lo gak tau tujuan mau kemana, lo pasti cuma muter-muter gak jelas gitu, ya udah jalan aja, ngabisin bensin dan duit pastinya. Ujung-ujungnya lo jadi bĂȘte plus uring-uringan.
 
Kalo lo udah jelas punya tujuan apa, lo pasti bakal lebih hepi dan lebih semangat lagi buat nabung/investasi. Tujuan keuangan ini misalnya untuk nikah, liburan, naik haji, beli mobil, beli apartemen, beli rumah, buat dana pension, buat dana pendidikan anak, buat modal bisnis, dsb… suka-suka lo deh !

 
2.      Punya prioritas

Pepatah mengatakan jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang. Manusiawi kalau kita punya banyak keinginan (baca : tujuan keuangan) tapi kita kudu sadar seberapa besar kemampuan kita (punya duitnya)?

Pikirin “Needs vs Wants”. Diperlukan kebijakan dan kedewasaan dalam menyaring semua keinginan tersebut. Itulah akhirnya kita mengenal kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang selanjutnya bisa dijadikan patokan prioritas kita.  

Inti dari semua ini adalah jangan sampe lo terbelit hutang gara-gara gak bisa ngatur prioritas kebutuhan hidup lo !
 

3.      Punya perencanaan keuangan

Kalo lo udah tau tujuan lo, pikirin jalan untuk mencapainya. Caranya? Kudu punya perencanaan keuangan.

Dalam memuat rencana keuangan ini ada beberapa info yang diperlukan sbb :

1). Kemampuan investasi.
Ini bisa dilihat dari cashflow bulanan dan tahunan yang lo miliki. Kalo hasilnya masih minus, artinya keuangan lo masih “lebih besar pasak daripada tiang.” Investasi baru bisa dimulai kalo cashflow lo udah sehat. Ibaratnya lomba lari, kalau lo lagi ngalami cidera otot misalnya pasti lo akan kesulitan lari atau malah cidera tambah parah sehingga lo malah gak bisa lari lagi. Makanya lo kudu rawat cidera itu supaya lo bisa kembali lari lagi dengan baik.

2). Kapan jangka waktu tujuan keuangan tersebut ingin dicapai (jangka pendek, menengah, panjang).  
Tujuannya untuk menentukan asumsi target return yang ingin dicapai dan melihat likuiditas produk investasi. Semakin pendek jangka waktu pemakaiannya maka sebaiknya pilih produk investasi yang likuiditasnya tinggi (mudah dicairkan setiap saat).

3). Biaya yang diperlukan saat ini dengan asumsi inflasi tertentu.

Lo kudu tau pasti berapa harga saat ini dari setiap tujuan keuangan lo, misal untuk dana pendidikan anak. Cari tau berapa uang pangkal dan uang tahunan sekolah yang diinginkan. Sebagai info aja, rata-rata kenaikan inflasi pendidikan anak untuk tingkat PG sampai dengan  SMA (terutama swasta) di Jakarta adalah 20% dan untuk perguruan tinggi sebesar 10%.

4). Profil risiko (konservatif, netral, agresif).
 
Ini untuk mengukur kesiapan mental lo saat investasi. Gampangnya, kira-kira seberapa kencang lo nangis kalo nilai investasi lo turun? Semakin kencang lo nangis atas setiap penurunan nilai investasi, maka lo semakin konservatif. High risk, high return. Artinya klo lo konservatif maka jauh-jauhin produk yang punya risiko tinggi, misalnya saham karena nilainya fluktuatif. Mungkin lo bisa mulai dengan investasi di pasar uang, atau bisa juga mulai dengan reksadana pasar uang dan pendapatan tetap.

Tabungan gak termasuk produk investasi karena tujuan investasi adalah melindung nilai asset dari inflasi. Sementara untuk produk tabungan, suku bunganya lebih kecil dari kenaikan inflasi itu sendiri sehingga asset kita malah tergerus disana. Inilah mengapa, menabung saja tidak cukup untuk pemenuhan tujuan investasi jangka panjang.

Dengan mengetahui empat poin diatas maka kita bisa menghitung berapa nilai investasi yang diperlukan untuk masing-masing tujuan setiap bulan/ tahun kemudian memilih produk investasi dengan target return tertentu sesuai profil risiko kita.
 
4.      Disiplin dalam implementasi

Plan cumalah plan klo gak ada implementasinya. Setuju ya? Artinya sukses tidaknya perencanaan keuangan yang udah lo buat, sangat tergantung dari kedisiplinan lo dalam melaksanakan rencana investasi yang udah dibuat.

Ibaratnya lo pembalap reli, maka rencana keuangan merupakan navigator yang kudu lo dengerin dan patuhi. Lo bakal nabrak-nabrak atau nyasar kalo gak patuh sehingga akan semakin lama mencapai garis finis (mencapai tujuan keuangan).

Ok deh, semoga celotehan gue ini bisa bermanfaat ya buat lo semua. Gue memang bukan ahli, tapi setidaknya gue punya sedikit pengalaman untuk dibagi.

Cheers!

Rabu, 14 Mei 2014

Mogok sekolah


Bob males banget belajar nulis, setelah dirayu akhirnya sepakat mau belajar tapi temanya harus tentang binatang. Asiiik... Mama pun semangat memulai belajar.

Mama : PINGUIN
Bob     : Bob, suka pinguin. *Bob memandangi mama sambil tersenyum kecil. Mama : Gimana tulisannya Bob?

Bob     : Apa?? *raut wajahnya sedikit bingung
Mama : PINGUIN, gimana tulisannya? *sambil nyodorin sebuah kertas
Bob tampak tertegun sejenak dengan sebelah alis naik sambil mengetuk-ngetuk ujung pensilnya di ujung kertas, mulai berpikir.
Bob    :
Jadi selama ini mama gak tau gimana tulisan PINGUIN? *wajahnya polooos banget* Mama deh yang belajar duluan, baru ngajarin Bob *kemudian ngeloyor pergi

Gue gak bisa nahan ngakak. Ya itulah penggalan kisah saat proses belajar membaca dan menulis bersama anak gue yang sebentar lagi menginjak usia 7 tahun. Mungkin agak aneh ya, hari gini anak 7 tahun belum bisa baca tulis? Padahal mah di TK aja udah pada khatam kali para muridnya untuk urusan tulis menulis.

FYI, Bob sudah setahun ini duduk di bangku kelas 1 di sebuah SD negeri tapinya cuma masuk sekolah beberapa bulan aja, awalnya sih masih mau masuk meskipun kadang-kadang tapi sekarang udah nggak sama sekali.

Awalnya gue masih maksa dia buat masuk sekolah tapi ada aja jawabannya, "Bob, nggak bisa nulis mama..." katanya dengan mimik sedih. "Ya makanya Bob sekolah, nanti diajarin sama bu guru." kata gue menyemangati, "Nggak ada yang ngajarin tuh ma. Bob malah disuruh nulis sendiri, banyak banget. Bob kan gak ngerti." katanya polos. Gue menarik nafas sejenak, mencoba memahami perasaannya. "Disuruh nulis yang banyak itu biar Bob terlatih nulisnya, biar Bob cepat bisa." jawab gue sambil melirik buku pelajarannya yang memang penuh dengan bacaan. Seingat gue, pas gue SD tuh pelajaran emang baru diajarkan kira-kira pas kelas tiga. Jangankan Bob yang jelas-jelas agak 'alergi' baca tulis, gue aja males ngeliat buku pelajarannya yang keliatan emang sama sekali gak menarik itu.

"Bob, maunya apa?" tanya gue akhirnya. "Bob mau belajar sama mama aja di rumah. Bob gak suka sekolah sama guru." katanya setengah merajuk sambil menghambur manja ke pelukan gue. Jleb... rasanya sebuah godam menghantam dan bersamaan dengan itu ribuan rasa bersalah bersarang tepat ke dada gue yang paling ringkih *ini emang sengaja lebay

Sudah sepatutnya gue memberikan itu tanpa Bob minta terlebih dulu. Bukan sepatutnya gue pasrah nyerahin pendidikan Bob ke guru sekolah atau guru lesnya dan cuma meluangkan waktu paling lama setengah jam setiap malam ketika gue udah pulang kerja. Itupun setelah gue udah ngerasa fresh lagi dan bisa ditebak, pas gue udah siap ngajarin, Bob pun udah dikuasai kantuk.

Sejak saat itu, gue berusaha jalani aja proses belajar mengajar Bob sesantai mungkin, seperti judulnya lagu kotak 'pelan-pelan saja', yang penting dia menikmati dan bisa menyerap proses belajarnya. Gue gak maksa dia masuk sekolah lagi untuk sementara, gue gak mau dia trauma dengan yang namanya sekolah.

Syukurlah, dalam kegiatan menggambarnya Bob malah lebih antusias belajar banyak hal secara tidak langsung. Misalnya aja ketika memilih menggambar bertema kereta api, Bob benar-benar membuat jalur kereta api, rute Tanah Abang - Serpong, lengkap dengan rambu-rambu lalu lintas dan beberapa stasiun. Yang lebih asyik lagi dia makin ceriwis bertanya ini itu, misal fungsi rambu lalu lintas sambil pelan-pelan belajar menulis. Walaupun gue kudu lebih aktif lagi belajar untuk ngasah lagi pengetahuan gue. Hasilnya Bob sudah bisa berkomentar (baca : paham) bahwa seandainya semua pihak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, maka tidak akan ada kejadian kereta menabrak sesuatu lagi.


Sebagai ganti dari absennya Bob sekolah, gue pun mendaftarkannya les menggambar. Walaupun gue sering dapat laporan dari miss-nya yang ngajar, Bob gak mau mengikuti subyek pelajaran yang berlangsung tapi dia lebih suka memilih temanya sendiri, misalnya bumi dan antariksa, atau (teteuuup) kereta api dengan jalur keretanya.

Tapi ya sudahlah, itu gak ngurangi kualitas belajarnya kok. Malah gue jadi kepikiran bahwa mungkin dia lebih cocok home schooling aja supaya bisa milih sendiri tema-tema pelajaran yang menarik minatnya sehingga dia gak mudah bosan belajar.

Sekarang Bob kembali bergairah belajar, malah lebih mudah penasaran ingin tau banyak hal, minta dibacakan lebih banyak buku, sambil pelan-pelan belajar nulis dan membaca. Meskipun untuk urusan membaca dan menulis ini masih moody, tapi yaaa sudahlah !

Yang gue gak habis pikir, kapan pemerintah memperhatikan hal ini?  Buat apa sih sibuk membuat kurikulum yang sulit dicerna oleh anak-anak usia sekolah dasar? Siapapun setuju, belum saatnya. Mereka belum siap untuk itu. Gak usah sombonglah pengen dunia pendidikan kita bisa go internasional. Internasional apanya???

Pendidikan dasar adalah pendidikan karakter, pembentukan akhlak.  Buat apa anak-anak ini pintar menghitung dan hapal segala rumus eksakta tapi sama sekali tidak tau bagaimana bersikap santun dan tidak paham apa itu Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana menerapkannya dalam keseharian kita.

Sumpah, miris hati gue membaca berita kasus Renggo, seorang anak SD yang meninggal dianiaya kakak kelas karena menjatuhkan pisang goreng seharga seribu perak, terlebih Renggo udah bersedia gantiin. Akh, kalau gue bahas ini bias panjang. Kalian pasti udah sering baca berita macam beginian juga kan :(

Sains bukan segalanya, tapi akhlak adalah segalanya. Pendidikan formal bukan segalanya, tapi pendidikan moral adalah segalanya.


Have a nice day !!